Rabu, 19 Juli 2023

Sistem Uang

Di dalam kehidupan keseharian, orang-orang sibuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang selalu saja dianggap kurang. Jarang sekali ada yang benar-benar mempertanyakan mengapa kebutuhan itu tidak pernah bisa tercukupi. Sangat jarang yang perduli untuk mencari sebab mengapa keseharian mereka seperti itu. Segala bentuk pemenuhan kebutuhan keseharian itu kemudian tergeneralisasi dalam upaya mencari uang. Artinya, ketika uang didapat, maka kebutuhan tertentu bisa dipenuhi, sementara kebutuhan lain nanti akan terpenuhi ketika ada uang lain lagi, demikian seterusnya. Problematika harian pun akhirnya berkuat pada soal uang, dan keadaan semacam ini bejalan di hampir semua komunitas kehidupan selama bertahun-tahun (untuk tidak mengatakan, mungkin akan selamanya). Karena jarangnya orang membicarakan perihal sebab mengapa bisa menjadi seperti itu, maka sebab itu dianggap tidak ada lagi. Artinya, mencari uang sebagai jalan utama untuk memenuhi kebutuhan itu sudah kewajiban orang hidup. 

Pada satu titik hal tersebut sangat benar karena fungsi uang sebagai alat tukar pokok. Tetapi ketika dikaitkan dengan kebutuhan, maka akan menjadi korelasi beracun karena ternyata kebutuhan baru akan terus muncul sehingga tidak pernah cukup seberapapun uang yang didapat. Fenomena ini sepertinya dialami orang-orang sehingga memang pada akhirnya hidup hanya untuk mencari uang. Ketika ada satu kesadaran baru yang terbuka melalui obrolan, tukar informasi, aktivitas komunikasi, atau media lainnya mengenai mengapa hal semacam itu terjadi dan berujung pada adanya sistem yang diciptakan, maka semua seolah sepakat untuk menyalahkan atau bahkan membenci institusi atau orang-orang di baliknya. Namun demikian, ketika institusi atau orang-orang di balik sistem itu memberi tawaran pekerjaan yang tentu saja berupah uang, maka kesadaran yang telah singgah tadi serta-merta sirna. Mereka menjadi bersetuju pada sistem dan sebagian malah betah berada di dalamnya dan bahkan semakin keras berusaha untuk memperbanyak pundi-pundinya. Tanpa perduli akan yang lain. Ia yang pernah sadar bahwa ia adalah korban sistem berubah menjadi sistem itu sendiri yang dengan segera akan mencari korban berikutnya. Demikian seterusnya, bagaikan mesin yang tak berhenti. (+)

Prawirotaman, 190723

Makan dan Bunyi

Sewaktu saya kecil dulu, di mana keluarga saya tergolong miskin, mendiang Ibu dan Bulik saya selalu akan marah ketika saat makan mulut saya mengeluarkan bunyi. Kata mereka itu tidak sopan, tidak nyaman didengar di telinga, bahkan saya dipersamakan dengan binatang jika mulut berbunyi ketika mengunyah. Ternyata tidak hanya sampai di situ, ketika sendok beradu dengan piring dan itu mengeluarkan bunyi, maka sontak mereka akan marah. Karena itu, tindakan makan menjadi semacam ritual yang harus dilakukan dengan hening. Namun pun demikian, ketika saya dan adik-adik saya makan terlalu pelan karena menyendoknya sedikit demi sedikit, itu pun juga kena semprot sebab laku seperti itu menandakan orang yang pelit dan jumawa karena makanannya takut habis duluan sekaligus bangga melhat makanan orang lain yang telah habis. Dengan demikian, ritual makan itu pun saya lakukan dengan hening sekaligus gegas dan oleh mereka itulah yang disebut sebagai tata kramanya orang makan. Termasuk ketika makan dalam acara pernikahan atau perhelatan di kampung, ketika semua sudah selesai dan berhenti makan, maka saya pun harus segera menghentikan makan saya. Kita tidak boleh makan ketika orang lain tidak makan, itu intinya. Jadi ada nilai penghormatan bagi orang lain dalam tindakan makan. Nilai ini saya sadari setelah dewasa dan tulisan ini saya buat ketika ada orang dewasa posisi satu setengah meter di samping saya, makan dengan kunyahan berbunyi keras dan tentu saja saya tidak mungkin berbuat seperti mendiang Ibu dan Bulik. (+)

The Capsule Malioboro, 190723

Jumat, 07 April 2023

Bahagia

Kemiskinan identik dengan kekurangan. Orang merasa akan menderita hidupnya jika berada dalam kemiskinan. Oleh karena itu mereka berusaha keras lepas darinya. Ada yang berjuang sekuat tenaga dengan segala cara positif nan ambisius untuk keluar dari rumah kemiskinan. Ada juga yang berusaha selicik mungkin, termasuk perilaku kriminal baik halus maupun kasar. Dua jalan ini menuntun pada hasil yang berbeda. Ada yang sukses namun jahat, ada yang sukses tanpa perlu berbuat jahat, dan ada yang tidak berubah seberapa kuat pun ia berusaha dengan cara apapun. Ketika berada pada titik kesuksesan pun juga berbeda dalam memaknai sejarah kemiskinan yang sudah dilalui. Yang sukses karena jahat ada yang tetap jahat, ada yang jahat sekaligus berbagi, dan ada yang pelan-pelan meninggalkan kejahatan. Yang sukses tanpa kejahatan juga ada yang tetap seperti itu dan ada yang pelan-pelan justru mengarah pada kejahatan tanpa tersadari karena memperlakukan semua orang harus sama dengan dirinya dalam kerasnya berusaha. Kesuksesan ini sebenarnya sama dengan kemiskinan yang merupakan satu titik dari sebuah perjalanan. Bagaimana merawat perjalanan adalah tugas berikutnya. Tujuan akhir dari perjalanan ini adalah kebahagiaan. Satu rasa yang tak pernah bisa diukur sama antara satu orang dengan orang lain tetapi dapat ditengarai penghambatnya adalah sama. Kemilikan identik dengan kesuksesan dan tidak akan pernah berhenti secara kuantitatif untuk menjamin apa yang disebut kesuksesan. Karena tak berhenti ini, maka kemilikan akan selalu berada dalam kekurangan. Sementara kekurangan identik dengan kemiskinan. Jadi miskin dan sukses sama-sama berada dalam kekurangan dan itu jauh dari kebahagiaan. Jika kekurangan adalah penghambat kebahagiaan, maka orang perlu berada dalam kondisi tidak pernah merasakan kekurangan. Satu sifat yang bisa menetralisir keadaan ini adalah “cukup”. Dengan selalu merasa cukup, maka tidak akan ada lagi kekurangan atau bahkan kelebihan. Jadi orang miskin bisa saja bahagia jika setiap harinya merasa cukup. Demkian halnya dengan orang sukses. Ketercukupan sejatinya akan selalu bersemayam ketika keterikatan akan kemilikan terbebaskan. Dan oleh karenanya bahagia itu sederhana, namun jalan menujunya tidaklah bisa dikatakan sederhana. (++)

Purwomartani, 070423

Bergerak

Penguasaan manusia atas bumi dan isinya ternyata dikalahkan oleh kehendak mereka sendiri untuk hidup menetap. Dengan kemenetapan ini, maka ketergantungan akan pangan hasil bumi tak terhindarkan sehingga bukannya menguasai, mereka justru terkuasai. Pandangan yang disampaikan Yuval Noah Harari ini jelas menohok langsung kesadaran manusia. Apalagi ketika ia menjelaskan bahwa secara biologis seperti struktur tulang, persendian, dan bentuk tubuh manusia itu mensyaratkan kehidupan yang selalu bergerak. Masyarakat peramu dan pemburu bisa menjadi gambaran ideal mengenai hal ini. Atas pengungkapan Harari ini menjadi masuk akal ketika semua manusia disarankan berolah raga agar kebugaran tubuhnya terjaga. Seruan ini juga dilandasi atas keberdiaman manusia, tidak hanya pada urusan tempat tinggal tetapi juga model dan sifat pekerjaannya. Hampir sebagian besar waktu hidup manusia digunakan untuk berdiam sehingga bergerak dengan berjalan kaki, jalan cepat atau berlari sangatlah berkurang. Kondisi ini klop dengan kemenatapan bahan makanan yang dikonsumsi yang jika ditimbang porsinya selalu tidak bisa berimbang sehingga kandungan yang satu lebih banyak dibanding yang lain. Karena itu muncullah penyakit umum yang diderita manusia terkait makanan ini. Pandangan Harari ini sedikit banyak menyentak kesadaran akan pentingnya bergerak atau hidup berpindah bagi manusia. Kemenetapan memang tidak serta merta menghilangkan gerak, namun pelan-pelan akan menimbulkan kenyamanan yang tetap karena memang harus demikian. Saat ini hampir semua orang memiliki kondisi hidup menetap dan berusaha untuk nyaman di dalamnya dengan segala upaya. Seolah, itu hanya pilihan satu-satunya. Seolah itu adalah capaian tertinggi dalam hidup. Seolah itu adalah titik akhir dari seluruh perjalanan hidup. Atau memang titik akhir hidup manusia itu ditentukan sejak menetap? Jika tidak, maka saatnya sekarang untuk senantiasa berpindah, bergerak. (++)

 Luk Coffee & Book, 070423

Minggu, 26 Maret 2023

Lingkaran Eksistensi

Eksistensi secara umum dapat diartikan sebagai hal berada atau keberadaan. Di dalam budaya yang berkembang di masyarakat, keberadaan seseorang berbeda dengan orang lain dan masing-masing eksis. Namun, keberbedaan ini kemudian tumbuh dan dipertegas menjadi semacam eksistensi yang lain. Artinya, setiap orang yang sejatinya secara dasariah telah memiliki eksistensi, merasa belum memiliki jika keberadaannya biasa-biasa saja. Banyak hal, dalam perjalanan budaya manusia, eksistensi karena hal berbeda ini diguratkan dalam tindakan atau pencapaian positif seseorang seperti pahlawan perang, pemikir, juara kelas, atau pengusaha kaya. Namun, eksistensi berupa capaian atau tindakan hebat ini secara eksplisit membutuhkan pengakuan. Tanpa adanya pengakuan, maka semua hal pembeda yang telah dilakukan tidak ada gunanya.

Keadaan ini akhirnya melunturkan nilai eksistensi menjadi beda dan diakui. Untuk menuju kondisi tersebut tidak sedikit orang kemudian melakukan sesuatu yang mencoba untuk berbeda dari masyarakat umum dan meminta pengakuan atas perbedaannya. Mulai dari rias dan busana, gaya jalan, gaya bicara, dan lain sebagainya. Tindakan pahlawan dan prestasi menjadi terpinggirkan bagi orang-orang semacam ini. Terlebih pada saat media sosial menjadi bagian penting dalam kehidupan, maka berbeda dan diakui ini kemudian diletakkan pada banyaknya pengikut dan komentar. Memang bentuk eksistensi sebagaimana nilai awalnya masih ada di medsos tetapi yang sekedar berbeda lebih banyak jumlahnya. Tindakan untuk menunjukkan eksistensi dibuktikan melalui unggahan foto, video, tulisan atau gabungan di antaranya.

Mungkin pada mulanya orang akan mengatakan bahwa berani menunjukkan perbedaan adalah hal yang wajar saja. Mengumumkan perbedaan pada khalayak juga biasa saja dan kalau perlu diapresiasi atau diakui. Tetapi, ketika tindakan berbeda di medsos ini semakin meluas, orang-orang mulai saling ribut. Saling berkomentar satu dengan yang lainnya, bahkan tidak jarang saling bertengkar. Anehnya, orang-orang yang meributkan soal pembeda nan aneh yang ditunjukkan orang lain itu juga melakukan hal yang sama. Ini seperti wabah penyakit yang penularannya cepat sekali. Hiruk-pikuk soal eksistensi di medsos kemudian menjadi santapan sehari-hari. Orang baru akan tercengang ketika seseorang yang ingin diakui keberadaannya melakukan sesuatu dengan merugikan orang lain seperti memukul seseorang dan disiarkan langsung, memfitnah orang lain, mengomentari segala hal yang menjadi objek pembicaraan, menampilkan tindakan sesksuil, atau pamer kekayaan yang kelewat berlebihan. Sampai pada titik ini banyak orang menjadi bingung namun di saat yang sama tidak bisa tidak terlibat dalam dunia medsos dan terjebak dalam lingkaran eksistensi semacam itu. (*)

Jumat, 27 Januari 2023

Pertanyaan Pekerjaan

Pekerjaan mengandung makna ada sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang yang disebut sebagai pekerja. Selintas hal ini logis, namun secara nyata belum tentu karena yang disebut pekerjaan seringkali hanya menjalani waktu tunggu bagi seseorang yang terdaftar sebagai pekerja di sebuah instansi. Artinya, sebagian besar waktu pekerja ini dihabiskan untuk menunggu pekerjaan yang diberikan atasan. Jika atasan tidak memberikan perintah mengerjakan sesuatu, maka ia tidak bekerja tidak peduli berapa lamanya waktu tunggu itu. Meski begitu, situasi dan kondisi tersebut tidak menggugurkan labelnya sebagai pekerja. Hal ini terlihat sama sekali tidak mungkin dan jika memang terjadi maka keadaannya menjadi absurd.

 

Mungkin (bisa jadi atau memang demikian) pekerja tersebut memiliki daftar pekerjaan harian sesuai kemampuannya. Artinya, ada atau tidak ada perintah ia mesti mengerjakan pekerjaan harian tersebut sesuai tanggung jawabnya. Namun (bisa jadi), sistem atau kultur menghendaki bahwa melaksanakan kerja harian itu bukan dianggap sebagai bekerja dan bekerja itu adalah/hanyalah melayani perintah kerja atasan. Keadaan ini membuat pekerja yang aktif mengerjakan pekerjaan harian menjadi lebih senang menunggu perintah kerja atasan. Karena dengan demikian, maka ia akan dianggap bekerja dan dampaknya ia akan terlihat sebagai pekerja yang bekerja dengan baik karena mampu mengerjakan perintah atasan. Karena ia mampu melayani perintah atasan dengan baik, maka kondiktenya juga baik melebihi pekerja yang mengerjakan pekerjaan harian dan minim mengerjakan perintah atasan karena memang jarang mendapatkan perintah.

 

Sistem dan kultur semacam ini jelas akan menggiring semua pekerja untuk bekerja berdasar perintah atasan karena hanya pekerjaan semacam itulah yang dianggap sebagai bekerja. Terlebih ketika bekerja yang semacam ini mendapatkan apresiasi berupa kredit poin baik secara administratif maupun atas nilai subjektif atasan. Jika kemudian, semua bekerja menunggu perintah atasan, maka siapa yang akan mengerjakan pekerjaan harian? Jika kemudian, semua bekerja menunggu perintah atasan, maka bisakah atasan memberikan perintah kerja kepada semua pekerja? Jika semua pekerjaan berdasar perintah atasan, lalu apa makna kerja harian? Lalu, siapa sesungguhnya yang membuat daftar pekerjaan harian bagi setiap pekerja sesuai bidangnya dan mengapa ini kemudian tidak dianggap sebagai pekerjaan? Lalu apakah perintah kerja atasan itu selalu tidak terhubung dengan pekerjaan harian, karena perintah kerja biasanya berupa surat khusus yang membuat pekerja mau bekerja sebab kerja harian tidak memerlukan surat khusus berisi perintah kerja? Jika memang perintah atasan itu tidak terhubung dengan kerja harian si pekerja, maka apakah atasan paham pekerjaan harian yang menjadi tanggung jawab setiap pekerja? Jika tidak, lalu ia ada untuk mengatasi apa? Jika iya, mengapa pula ia memberikan perintah kerja di luar tanggung jawab pekerja yang sudah tertuang di dalam daftar pekerjaan harian?

 

Terakhir, apakah sistem atau kultur kerja di instansi semacam ini ada secara sungguh-sungguh?